Annyeong minnaaa~
Xixixi.. Kembali lagi bersama denganku.
Ini ada FF, temanya tentang ayah.
Dibaca yah, hayatilah baik-baik!
Semua orang
berhak bahagia. Bahagia adalah hal pendukung utama dalam kehidupan yang bisa
didapatkan dengan cara yang apapun. Meskipun tidak semua makhluk didunia ini
mendapatkan kebahagiaan yang semestinya. Tetapi, hidup didunia dan disayangi
oleh orang-orang terdekat adalah kebahagiaan yang takkan pernah bisa digantikan
oleh kebahagiaan lain.
♡♡♡
Hawa dingin
menusuk kulit putih milik Tae Suk. Wajar saja bila udara di Seoul terasa
dingin. Memasuki musim salju, banyak manusia yang lebih suka menghabiskan waktu
dengan orang-orang terdekatnya. Terlebih lagi dengan pasangan maupun dengan
keluarga kecilnya.
Sayangnya,
meskipun Tae Suk memiliki sebuah keluarga kecil di daerah pinggiran Incheon,
dia tetap saja kesepian. Remaja usia 16 tahun ini sangat meridukan ayahnya yang
dulu.
Jang Tae Suk,
seorang anak yang sangat senang bermain dengan ayahnya. Setiap hari mereka
lalui bersama. Semua permainan hampir mereka mainkan bersama.
Hari-hari
mereka lalui bersama, sampai pada akhirnya Jang Tae Suk tumbuh menjadi seorang
remaja yang sangat tampan. Karena ketampanan dan kebaikan hatinya, ia memiliki
banyak teman. Tetapi, ada juga yang tak senang dengan ketampanan wajahnya.
"Annyeong, Tae Suk-ssi. Apakah kamu tidak membantu ibumu berjualan dipasar?" Olok
Sang Woo. Anak pengusaha susu sapi terkaya di Incheon.
"Yak, kamu boleh mengolokku. Tapi, kamu
tidak boleh mengolok pekerjaan ibuku. Aratji?"
Tae Suk sangat tidak menyukai apabila teman-temannya mengolok-olok orang
tuanya.
"Tae Suk-ssi, kamu tidak perlu marah. Aku tidak
pernah mengolok orang tuamu, tapi aku hanya menertawai kemiskinanmu."
Semua
teman-teman Sang Woo tertawa terbahak-bahak. Hingga pada satu tonjokan
mengakhiri tawa mereka. Tae Suk sangat murka. Ia sangat tidak menyukai
orang-orang seperti Sang Woo yang selalu bangga dengan kekayaan orang tuanya.
"Neo? Ige
mwoya? Kenapa kau memukulku?" Sang Woo tidak terima dengan perlakuan
Tae Suk. Ia ingin membalas tetapi tidak mampu memukul Tae Suk.
"Ige mwoya? Kau pantas menerimanya!"
"Kaja, aku tidak ingin orang miskin ini
menyentuhku." Sang Woo memberi instruksi kepada teman-temannya.
Kaki Tae Suk
membawanya ke taman kecil di sekitar pekarangan rumahnya. Disebuah kursi taman,
Tae Suk menumpahkan seluruh amarah dan tangisnya. Setiap hari ia diolok-olok
oleh teman sekelasnya, terutama Sang Woo. Setiap mereka berpapasan, Sang Woo
akan selalu mengatainya si Pecundang Miskin.
Tae Suk memang
tidak memperdulikan semua olok-olokan itu, tetapi jika membawa kedua orang
tuanya, ia tidak bisa mengontrol amarahnya lagi.
Tae Suk
memandang langit biru di daerah Incheon. Ia tak pernah menatap langit Seoul
yang sering dibicarakan oleh teman-temannya, tetapi ia sudah sangat nyaman
dengan menatap langit Incheon.
"Nuguseyo, wae urayo? Uljima."
Seorang gadis sebaya Tae Suk menghampirinya. Gadis tersebut menyodorkan
selembar sapu tangan kepada Tae Suk.
"Ani, aku tidak menangis. Aku hanya flu
ringan."
"Kamu
sebut itu flu? Jelas-jelas matamu berair."
"Ng, aku
juga bersin-bersin."
Tae Suk tetap
menyangkal bahwa ia tidak menangis. Tetapi, matanya tidak bisa berbohong. Gadis
itu tahu bahwa lelaki dihadapannya sedang membohonginya.
"Terserah."
Tae Suk menatap
lekat gadis dihadapannya.
'Siapa dia? Mengapa ia muncul dihadapannya
pada saat ia sedang menangis?'
"Jo neun Hee Jin imnida, Park Hee
Jin. Aku kemari karena melihatmu menangis ditempat ini. Kedatanganku tidak
tepat yah? Aku juga tidak tahu. Suasana hatiku sedang buruk, jadi kuputuskan
untuk berjalan-jalan ditaman Incheon."
Tae Suk
terkejut dengan semua perkataan yang dilontarkan oleh Hee Jin. Ia tidak
menyangka, Hee Jin bisa membaca pikirannya.
'Apakah kamu bisa membaca pikiran orang
lain? Mengapa kamu bisa menjawab semua pertanyaan yang tidak kuucapkan?'
"Ya,
tentu. Aku bisa. Aku juga tidak tahu."
'He?'
Wajah Tae Suk
semakin memerah. Entah ia menahan malu atau bingung dengan seorang gadis
bernama Hee Jin.
"Rumahmu
dimana?" Tanya Tae Suk.
"Ada apa
tanya rumahku? Rumahku di Seoul."
"Lalu, apa
yang kamu lakukan disini?"
"Aku
sedang mencari ayahku."
"Ayahmu
tinggal dimana?"
"Molla."
"Kalau
kamu tidak tahu, mengapa kamu berkeliaran disini sendirian?"
"Yak, aku sudah bilang, aku ingin mencari
ayahku. Dimanapun dirinya berada, aku ingin mencarinya."
"Kamu
sangat menyayanginya?"
"Yak, itu
pertanyaan konyol. Mana ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya."
"Yah, kamu
benar. Itu pertanyaan konyol. Memang tidak ada anak yang tidak menyayangi orang
tuanya. Sang anak bahkan ingat, kebiasaan orang tua yang sering dilakukan
dipagi hari, siang hari dan malam hari. Bahkan, sang anak pun bisa menghitung
berapa kali ayahnya mengusap rambutnya dalam sehari. Tapi sayang, aku bahkan
tak ingat, kapan terakhir kalinya aku memanggil, ayah."
Hee Jin
termangu mendengar curahan hati Tae Suk.
"Ada apa
dengan ayahmu? Solma..."
Tae Suk hanya
menatap Hee Jin dengan wajah kelelahan. Seperti seorang pengembara yang
kelelahan mengembara dunia selama dua minggu.
Seorang anak
takkan berbicara yang tidak-tidak kepada orang lain apabila kedua orang tua
lebih memperhatikan dan mengajarkannya bagaimana cara bersikap kepada orang
lain.
"Aniya, ini sudah malam, kamu pulang
saja. Aku juga harus pulang. Ibuku sudah menunggu dirumah."
"Geurae, aku akan pulang. Besok kita
ketemu ditaman ini lagi, yah. Annyeong."
Jang Tae Suk hanya
melambai kearah Hee Jin. Gadis itu sudah membuat hatinya kembali damai. Ia lupa
mengucapkan terima kasih kepadanya.
'Hee Jin, mungkin saja kamu tidak akan
melihatku disini lagi besok, besok, besok dan seterusnya. Mianhae, Hee Jin, aku
belum sempat berterima kasih denganmu. Gamsahamnida, Hee Jin, kamu sudah
membuat hatiku tentram kembali. Kehadiranmu dalam pertemuan singkat kita takkan
kulupakan.'
♡♡♡
Pada umunya, semua orang menyukai suasana di
pagi hari. Dimana udara masih segar belum tercampur dengan gas-gas karbon
dioksida. Sehingga, pernapasan kita tidak terganggu.
Meskipun Tae Suk sangat menyukai pagi hari,
tetapi pada hari itu, Tae Suk sangat tidak menyukai pagi hari.
Jang Tae Suk sedang menyiapkan sesuatu. Ia
mengambil tas biru mudanya, dan memasukkan beberapa pakaian. Seperti
rencana-rencana sebelumnya, ia ingin meninggalkan rumah kecilnya. Dimana ia
hidup bersama dengan adik perempuan dan kedua orang tuanya.
Jang Tae In, yang sedang memerhatikan kakaknya
sedang menyiapkan sesuatu, segera melapor kepada ibunya.
"Eomma,
apa kamu melihat Tae Suk? Dia seperti memasukkan pakaiannya ke dalam tas
birunya. Apakah dia akan meninggalkan rumah? Apa dia ingin pergi?" Tae In
yang sedang membayangkan heningnya rumah jika tidak ada kakak semata wayangnya.
"Tae In-ah, setelah kakakmu membereskan pakaiannya. Kita harus memasukkan
kembali pakaiannya ke dalam lemari. Kakakmu tidak akan pergi. Ibu pastikan
itu."
"Ne,
Eomma. Uri Oppaga, nan jeongmal saranghae. Meskipun dia sering nakal dan
memarahiku." Air mata Tae In membasahi sudut kiri matanya.
"Ayo Tae In, kita harus mengambilnya,
sebelum dia melihat kita."
Ibu dan Jang Tae In buru-buru memasukkan
pakaian Tae Suk kedalam lemari pakaiannya.
♡♡♡
"Tae Suk, kemari."
"Ne, Appa?"
Tae Suk berjalan ke arah ayahnya yang sedang duduk di meja makan.
"Kemana kamu semalam?"
"Aku, ke rumah teman, appa."
"Ke rumah teman sampai larut malam?
Apa kamu tidak malu? Kamu tidak malu dilihat oleh tetangga, anak Jang Dae Hyun,
keluar bersama temannya tengah malam? Apa yang kalian lakukan?"
"Kami, kami hanya berkumpul saja."
Dari mimik wajahnya saja, Tae Suk sedang
berbohong pada ayahnya. Tentu saja, Tae Suk bukan seorang anak yang suka
keluyuran tengah malam hanya untuk pergi bersenang-senang dengan
teman-temannya.
"Oh, jadi kamu sudah berani
bersenang-senang dengan temanmu? Apa kau pergi ke bar? Lalu
mabuk-mabukan?"
"Abeoji!"
"Mwoya?
Appa benarkan?"
"Tidak seharusnya ayah berkata itu
padaku. Meskipun aku keluyuran tengah malam. Aku tidak pernah sekalipun
menginjakkan kaki di sebuah bar manapun, apalagi sampai mabuk-mabukan seperti
ayah katakan. Aku ini masih punya pikiran, ayah. Jadi, jangan pernah menuduhku
dengan tuduhan yang tidak-tidak."
"Satu hal lagi, appa, ini terakhir kalinya ayah menuduhku. Setelah sekian banyak
tuduhan tanpa bukti yang ayah katakan padaku."
Jang Tae Suk melangkah pergi dari hadapan
ayahnya. Ia sudah tidak tahan dengan perlakuan ayahnya yang kasar dan suka
menuduhnya dengan tuduhan tanpa alasan yang jelas.
Pernah sekali ia dituduh mencuri uang ayahnya.
Hanya karena ia suka membelikan Tae In dan ibunya beberapa pakaian yang sangat
indah.
♡♡♡
Untuk
ayah tersayang,
Aku tidak
tahu apa yang merubahmu selama ini. Ayah yang aku banggakan dahulu tak seperti
dulu lagi. Ayah yang dulu sangat menyayangiku. Setiap hari mendongeng berbagai
cerita menarik untukku. Tetapi, sekarang ayah lebih sering memarahiku daripada
menatapku.
Tatapan
hangat yang sering aku lihat dari ayah kini sudah sirna. Ada apakah gerangan?
Apa ada yang mengganggu pikiran ayah?
Appa,
kalau ada yang ingin kamu ceritakan padaku, ceritakanlah saja, jangan sungkan.
Aku akan setia mendengarkanmu.
Appa,
jagalah ibu dan Jang Tae In baik-baik. Terutama Tae In, jangan sering membuat
dia menangis karena ulahku. Kalau ingin marah, marah padaku saja.
Mungkin,
ini adalah surat terakhir dariku. Jangan pernah mencariku, ayah.
Aku
menyayangi kalian.
Dari
anak bandel,
Jang Tae
Suk.
Setelah membaca surat dari Jang Tae
Suk, ibu Tae Suk jatuh pingsan sambil berlinang air mata.
Apa yang akan dilakukan anak kecilnya itu?
♡♡♡
"Oppa,
kamu mau kemana? Apa kamu ingin pergi dari rumah?"
"Tae In, jagalah ibu dan ayah baik-baik.
Jangan bandel. Buat mereka bangga karena ada Tae In. Jangan cari oppa. Oppa takkan pergi jauh."
"Yak,
oppa, Jang Tae Suk-ssi. Kalau kamu ingin pergi, aku akan melapor ke kantor
polisi. Jadi, jangan coba-coba meninggalkan rumah."
Tae Suk menahan tawa melihat adiknya berlinang
air mata. Meskipun dalam hatinya, kata-kata itu sangat menusuk hatinya. Belum
pernah sekalipun Tae In berkata demikian padanya.
"Aku serius."
Jang Tae Suk mengacuhkan pengakuan dari Jang
Tae In. Ia hanya melangkah menuju dapur rumahnya. Ia pun mengambil beberapa
nasi dalam rice cooker ibunya. Dan
dua potong tempe goreng sisa makanan semalam.
"Apa kamu benar-benar ingin pergi?"
"Menurutmu?"
"Oppa."
"Hm?"
"Jaga diri baik-baik." Setelah berkata
salam perpisahan, Tae In berlari ke kamarnya dan menangis sekencang-kencangnya.
Ia tak kuasa menahan tangis yang dibendungnya ketika kakaknya mengambil
beberapa makanan sisa semalam.
"Tae In, jeongmal mianhae. Oppa pergi dulu. Katakan pada ibu dan ayah ketika
mereka kembali, Tae Suk akan pergi. Jangan cari dia. Annyeong, jaga dirimu baik-baik."
Eomma,
Appa, Jang Tae In. Gomawo. Sudah menghiasi hari-hariku dengan penuh warna.
Eomma, Appa, mianhaeyo. Aku tidak membalas jasa-jasamu. Aku memang egois. Tapi,
inilah jalan yang akan aku jalani.
Aku
tidak mungkin menyesalinya. Tidak akan.
Butir-butir air mata jatuh ke pipi
Tae Suk. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya meninggalkan rumahnya.
♡♡♡
"Yeobo-ya,
Tae Suk-ssi, eodie? Cari dia. Temukan sampai dapat, uri Tae Suk-ssi. Jang Tae Suk. Eodie? Eodieya?" Ibu Jang Tae
Suk tak kuasa menahan tangisnya. Putra kecilnya pergi entah kemana.
Meskipun umurnya sudah cukup remaja, tetapi
dia hanyalah seorang anak yang masih bergantung pada orang tua. Seluruh
kebutuhan sehari-harinya masih ditanggung oleh kedua orang tuanya.
"Yeobo-ya,
apa yang akan dimakan oleh Tae Suk kalau dia pergi? Dia belum bisa
menghasilkan uang. Dimana dia akan tidur? Banyak nyamuk diluar. Yeobooo."
"Sudahlah, Tae Suk pasti baik-baik saja.
Aku sudah menyuruh Woo Bin untuk mencarinya dan Han Eun Rim sudah meneleponnya.
Tenanglah, chagi, dia pasti akan
baik-baik saja."
Seluruh teman-teman Tae Suk sedang mencarinya.
Terutama Han Eun Rim yang mempunyai hubungan baik dengan Tae Suk.
♡♡♡
From: Eun Rim
To: Tae Suk
01xxxxx
Tae Suk-ssi, eodiya?
Yak,
Jang Tae Suk, mengapa kamu tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesanku?
Apakah kamu tidak ingin menemuiku sebelum pergi? Kamu jahat.
"Oppa, sepertinya aku tahu dimana
Tae Suk. Cepat pergi ke sungai Han. Kurasa dia ada disana."
Motor Eun Woo melaju cepat sepanjang jalan
menuju sungai Han. Hanya Eun Rim-lah yang tahu dan sangat yakin bahwa Jang Tae
Suk sedang beradi di sungai Han.
Kebiasaan Tae Suk jika terlalu banyak berpikir
adalah menyendiri di sungai Han. Hanya sekali Eun Rim menemani Tae Suk
memandang sungai Han.
Eun Rim sering menawarkan diri untuk
menemaninya menenangkan pikirannya. Tetapi, Tae Suk hanya menjawab ia ingin sendiri.
Terpaksa Eun Rim harus menelan kekecewaan.
Jauh-jauh ia menyusul Tae Suk, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan.
Suasana sungai Han pada malam hari sangatlah
indah. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 01.13, jalan raya tak sepi
pengunjungnya. Bar dipinggir sungai Han pun ramai pengunjung.
Han Eun Rim melihat sosok lelaki tinggi.
Rambut yang tidak terlalu pendek dibuat cepak sehingga ketampanannya terlihat.
Ia pun secepatnya berlari kearah Tae Suk. Ia khawatir jika Tae Suk pergi lagi.
"Yak,
Tae Suk-ssi. Jang Tae Suk. Kenapa kamu tidak mau membalas pesanku? Apa kamu
ingin pergi tanpa pamit denganku? Kamu egois, kamu jahat, Tae Suk."
"Bagaimana kamu bisa kemari?"
"Apa yang tidak kuketahui tentangmu Tae
Suk. Setiap kamu tidak ada dirumahmu, aku sering berkeliling gang hanya untuk
menemukanmu, terakhir kali kamu berkata bahwa, kamu sangat suka dengan sungai
Han. Setiap kamu memiliki masalah, kamu ingin terjun ke sungai Han dan
membiarkan aliran air sungai membuang semua pikiran dan kenangan burukmu."
"Han Eun Rim, mengapa kamu sangat
memperhatikanku?"
"Karena, ng, karena..."
"Karena?"
"Nan...
Jeongmal cohaheyo. Nan... Saranghaeyo, Jang Tae Suk."
"Han Eun Rim..."
"Tapi, aku tidak pernah meminta balasan
cinta darimu Tae Suk. Aku hanya menginginkan kamu tetap berada disampingku,
walau bukan sebagai sepasang kekasih. Aku tetap bahagia."
"Mianhaeyo,
Eun Rim. Aku... Aku... Tidak pernah tahu akan perasaanmu. Aku...
Aku..."
"Sudahlah, Tae Suk. Aku tahu bahwa lelaki
memang tidak pernah peka akan perasaan wanita. Huh. Hei, jagalah dirimu
baik-baik. Ibumu, nanti aku yang akan menenangkannya. Dia hanya akan
mendengarkan apa kataku. Pergilah, cepatlah kembali." Kaki Eun Rim
melangkah perlahan meninggalkan Tae Suk.
"Han Eun Rim, Eun Rim..." Tetapi Eun
Rim mengacuhkan teriakan Tae Suk.
Menahan wajah agar tetap bisa tertawa disaat
sedang bersedih memang tak mudah tuk dijalani.
Sama halnya dengan menahan air mata menetes ke
pipi. Mata yang sudah berkaca-kaca saja sangat sulit untuk diatasi.
Eun Rim pun begitu, meski senyumnya masih
merekah dihadapan Tae Suk, tetapi sebenarnya hatinya sangat sakit. Seperti
ditusuk seratus paku secara bergantian. Sangat
sakit.
Baru pertama kalinya ia berani menyatakan
cinta kepada seorang lelaki yang jelas-jelas sahabat karibnya. Meskipun tak
begitu dekat, ia sangat mengenal Tae Suk.
Banyak lelaki yang ingin seperti Jang Tae Suk,
sangat disukai oleh Han Eun Rim. Tetapi, takdir berkata lain. Jang Tae Suk-lah
yang paling beruntung diantara seribu lelaki yang menyukai Han Eun Rim.
Hanya orang buta yang tidak bisa melihat
seberapa besar cinta Eun Rim pada Tae Suk.
Tetapi, Tae Suk bukanlah seseorang yang mudah
jatuh cinta begitu saja.
♡♡♡
*6 Tahun Kemudian
Sebuah universitas di daerah Seoul berdiri
megah. Dengan dipenuhi kaca disetiap jendelanya.
Sebentar lagi hari kelulusan tiba. Hari yang
sangat dinanti-nantikan oleh Jang Tae Suk.
Hati yang was-was menyelimuti perasaannya
sekarang. Meskipun lahir dan batinnya siap untuk mengikuti ujian akhir, tetap
saja perasaan was-was tidak bisa hilang dari benaknya.
"Sudah siap, Jang Tae Suk?" Kata
salah seorang penguji dihadapannya.
"Saya siap."
Tidak terasa sejam ia berkutat dengan skripsi
yang begitu tebal dan sebuah laptop. Puluhan pertanyaan menyerbunya dengan
bergantian.
Ia tinggal menunggu hari pengumuman itu tiba.
Demi menjernihkan otaknya yang lelah akibat
dari ujian akhirnya, ia rela berjalan dari kampus ke kedai Sushi yang bisa dikatakan
lumayan jauh dari kampusnya. Padahal untuk saat sekarang, batin sangat lelah
hanya untuk berjalan.
Jang Tae Suk memesan beberapa sushi dan
secangkir teh hijau. Perutnya terasa sangat kosong meskipun ia sarapan lumayan
banyak pagi ini.
Ia memilih meja disudut kiri dekat kaca kedai
tersebut. Sehingga, ia bisa melihat kendaraan lalu lalang dihadapannya.
"Annyeonghaseyo,
apakah kamu Jang Tae Suk?"
"Eo,
annyeonghaseyo. Ne, joneun Jang Tae Suk imnida. Tapi, darimana kamu tahu
namaku?"
"Ah, apakah kamu masih mengingatku? Aku
bahkan tidak melupakan wajahmu."
"Maaf, tapi, aku benar-benar tidak
tahu."
"Apa kamu lupa kalau kamu pernah menangis
sendirian di kursi taman?"
"Hee Jin?"
"Ya, aku Park Hee Jin. Apa kabar Tae
Suk?"
"Hm, baik-baik saja. Bagaimana denganmu?
Eh, aku ulang lagi yah, waktu itu aku tidak menangis. Aku hanya sedang
bersedih."
"Baik juga, gomawo. Sedih yang berkepanjangan membuatmu menitikkan air mata,
lho." Hee Jin langsung tertawa terbahak-bahak.
Raut wajah Tae Suk memerah menahan malu. Ia
mendelik ke arah Hee Jin yang membuat Hee Jin terdiam.
"Maaf, aku hanya bercanda."
"Ya, sudah. Ng, ngomong-ngomong, aku
sangat bahagia bisa bertemu denganmu disini."
"Aku juga. Sudah lama tidak bertemu,
yah."
Dan pada saat itu, Jang Tae Suk menyadari.
Dari dulu hingga sekarang, jantung selalu berdetak lebih cepat ketika menatap
Hee Jin yang sedang tersenyum.
Perasaannya kepada Hee Jin tak pernah berubah.
Saat itu pula, ia berjanji akan menjadikan Park Hee Jin sebagai kekasih masa
depannya.
♡♡♡
Salah satu mall terbesar di kota Seoul, sangat
banyak diminati oleh kaum pria maupun wanita. Baik yang berpasangan maupun
tidak. Karena mall itulah yang paling terlengkap di negara Korea Selatan.
Ibu Tae Suk dan Tae In sedang berjalan-jalan
menyusuri toko pakaian yang berada dipelantaran mall tersebut, sampai ketika,
mereka berdua melihat sosok pria yang sangat mereka kenali.
"Ibu, lihat disana, itu seperti, oppa. Ne, Jang Tae Suk-oppa."
"Ah, dimana, Tae In? Memangnya kakakmu
lagi ada disini?" Setelah berkata demikian, kepala ibu Tae Suk spontan
memutar kearah yang ditunjukkan oleh Tae In.
Dugaan Tae In benar. Dia adalah anaknya. Jang
Tae Suk.
Putra yang sangat dirindukannya. Setelah
bertahun-tahun pergi dari rumahnya tanpa diketahui keberadaannya.
"Tae Suuuukk. Jang Tae Suuukk. Yaaak, ini
ibu." Seluruh pengunjung mall yang terkejut karena ada seseorang yang
berteriak menoleh ke asal suara.
Jang Tae Suk berbalik dan terkejut. Melihat
ibunya yang sudah beruban, hatinya seperti tertusuk-tusuk jarum.
Ia tidak menyangka bahwa, dirinya akan bertemu
dengan ibunya ditempat seperti ini.
"Eomma,
apa kabar?"
"Kemana saja kau selama ini?"
"Ng, aku... Aku... Dirumah teman."
"Apa kau makan dengan baik?"
"Ne,
eomma. Ng, eomma, dimana ayah?"
Ibunya tidak menjawab pertanyaan singkat itu.
Ia hanya terdiam dan menunduk. Tanpa Tae Suk sadari, air mata ibunya menetes ke
pipinya.
"Oppa,
ikutlah denganku." Tanpa disuruh, Tae In menarik tangan kakaknya.
"Eomma, chakkaman-yo."
Ibunya hanya terdiam, tidak mengangguk maupun
menggeleng.
Tae In menarik tangan kakaknya ke sebuah
pemakaman. Mereka pun menuju ke salah satu kuburan yang terletak agak jauh dari
mereka berdiri.
"Apa-apaan ini, Tae In? Mengapa kau
membawaku ke tempat seperti ini? Apa maksudmu?"
Tae In menghela napas panjang. Tidak menjawab
pertanyaan Tae Suk.
"Tae In, mengapa kau hanya diam saja?
Jawablah pertanyaanku!"
"Setelah kamu pergi, ayah sering
menyendiri. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun. Aku pikir,
dia sedang memikirkanmu. Sampai suatu hari, ayah jatuh pingsan. Aku dan ibu
membawanya ke rumah sakit."
Tae In menarik napas sebentar lalu melanjutkan
kembali ceritanya. Jang Tae Suk tak bisa membendung lagi air matanya. Tetapi,
tetap memperhatikan Tae In yang sedang berbicara.
"Dokter mengatakan bahwa ayah hanya perlu
istirahat dan meminum obat darinya. Aku dan ibu lega dengan kondisi ayah. Pada
suatu malam, hari dimana pertama kalinya aku melihat ayah menangis sambil
menyebutkan namamu. Nampaknya dia sangat merindukanmu. Aku sudah berusaha
mencarimu kemana-mana, tapi kau tetap tidak bisa ditemukan. Dokter pikir, obat
satu-satunya adalah bertemu denganmu."
"Tetapi, ayah menyerah. Ayah tidak bisa
bertahan. Ayah tidak tertolong lagi. Rasa rindu mengalahkan seluruh metabolisme
tubuhnya."
Jang Tae In berhenti bercerita. Lalu menatap
ke arah Tae Suk.
Appa,
wae? Waeee? Kenapa kau tak mau menungguku sebentar saja? Lihat! Lihatlah,
anakmu sekarang sudah berhasil. Tetapi mengapa kau pergi secepat ini? Kau
bahkan belum melihat anak-anakmu menikah, apalagi cucu-cucumu.
"Appa,
mianhae. Mianhaeyo. Aku sudah membuatmu
begini."
Tidak lama kemudian, Tae Suk dan Tae In pun
menangis bersama. Membayangkan betapa mirisnya kehidupan mereka. Ditinggal
seorang ayah sedini ini. Tetapi, mereka tidak boleh menyalahkan siapapun. Itu
sudah takdir dari Tuhan yang tidak bisa dihindari oleh manusia.
Tatapan Tae Suk beralih kesebuah pohon anggrek
tidak jauh dari tempatnya berada.
Muncul sosok pria berpakaian serba putih
sedang menatap Tae Suk.
Tidak salah lagi. Dia adalah ayah Tae Suk yang
sedang tersenyum ke arah putranya.
Kerinduan ditinggal anaknya sudah
terlampiaskan pada hari itu.
Sekarang, Jang Tae Suk hanya perlu membenahi
diri lagi. Dan membahagiakan orang-orang yang masih berada disekitarnya.
♡♡♡
"Kamu takkan pernah tahu, kapan saatnya kamu harus berpisah dari orang-orang terdekatmu, orang-orang yang menyayangimu, dan orang-orang yang kamu sayangi. Selama mereka mash ada, cobalah buat mereka bahagia dengan kehadiranmu."