Dibaca yah, semoga ceritanya menarik :)
Happy Reading...
JANGAN MARAH
Matahari telah terbit. Ayam jantan
berkokok dengan suka ria. Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Hampir saja
aku bangun kesiangan kalau bukan Ibu yang membangunkanku. Aku tak tahu, semalam
aku bermimpi apa, sampai-sampai aku tidak mendengar bunyi alarm yang semalam
kuletakkan dimeja belajarku.
Hari ini adalah hari yang paling
mendebarkan untukku. Hari dimana pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas
Negeri 17 Makassar akan diumumkan. Awalnya aku tidak mempedulikan hasil
kelulusan sekolah itu, tetapi setelah melihat wajah kedua orang tuaku,
nampaknya mereka sangat menginginkanku untuk lulus dari sekolah tersebut.
Dengan jantung yang sedikit berdebar,
aku mencari nomor tes yang terpampang dalam surat kabar harian. Betapa terkejut
aku, melihat nomor tes yang kumiliki terpampang dalam selembar kertas yang
awalnya tak berguna itu.
“Ibu, Ayaah, aku lulus. Lihat, nomor
tesku ada di dalam surat kabar ini.” Kataku seraya memeluk ibu.
“Coba sini ibu lihat? Benaaar, kau
lulus Irma.” Ibuku berbalik memeluk. Aku bahagia melihat orang tuaku bahagia.
Tapi aku harus sadar, perjuanganku
belum sampai disini. Ini barulah awal. Awal dari keberhasilanku. Ini belum ada
apa-apanya, masih banyak rintangan yang harus dilalui jika ingin meraih
cita-cita yang sesungguhnya.
Oh ya, aku sampai lupa menanyakan
kabar kelulusan teman-temanku yang lain. Bukannya aku ingin menyombongkan diri,
hanya ingin tahu saja, apa mereka juga sama sepertiku. Hal ini akan menjadi
kabar baik untukku. Bisa belajar bersama-sama lagi, bermain bersama dan
bergurau bersama. Banyak hal yang indah yang bisa dilakukan jika kami kembali
bersama.
Aku tidak sabar menunggu hari esok.
***
Pagi hari yang cerah. Aku bergegas
merapikan kamar dan berangkat ke sekolah untuk melihat hasil pengumuman
kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Penentuan antara hidup dan mati ada pada
selembar kertas yang berisikan angka-angka tersebut.
Aku berjalan disekitar koridor kelas
tempatku belajar dulu. Suasana tidak berubah, hanya saja kelasnya dikosongkan.
Kelas IX.9. Disitulah aku menghabiskan banyak waktu selama 3 tahun. Banyak
kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Kenangan itu terlalu indah jika hanya
untuk dikenang semata.
“Irmaaaaa.” Tiba-tiba aku mendengar
suara yang sangat kukenali.
“Fitriiii.” Kebiasaan Fitri sedari
dulu belum berubah. Sering berlari jika bertemu dengan kawan-kawannya.
“Hai, apa kabar? Dasar kamu ya,
mentang-mentang sudah jarang bertemu, kamu pun tak pernah memberiku kabar.
Apa-apaan ini?”
“Heei, sabar. Bukan begitu, kamu
tahukan orang tuaku, kalau libur nggak
dapat gaji harian.”
“Dasar kamu. Masih banyak social
media yang bisa kamu gunakan untuk berkomunikasi. Ada twitter, facebook, BBM, eitss, atau jangan-jangan kamu tidak tahu
menggunakannya?”
“Hei, jangan menuduhku yang
tidak-tidak.”
Aku pun tertawa melihat wajah Fitri
yang memerah. Menggodanya sedikit saja akan membuatnya salah tingkah dan
pipinya akan memerah seperti kepiting rebus.
“Fit, aku lulus. Tinggal tunggu
pendaftaran ulangnya .”
“Yang benar? Yeeey, Alhamdulillah.
Jadi nggak perlu mendaftar di sekolah
lain dong? Hebat.”
Aku senang, teman-temanku ikut senang
mendengar kabar kelulusanku. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Awalnya, aku
tidak percaya bahwa nomor tes yang kumiliki terpampang di kertas surat kabar
itu.
Suasana Sekolah Menengah Pertama
Negeri 24 Makassar terlihat ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, itu
berarti jam istirahat telah berbunyi. Siswa-siswi kelas 7 dan 8 berlari
kecil-kecilan menuju kantin sekolah. Pada saat itu juga, Fantri dan Puput tiba
disekolah. Wajahnya yang masam menandakan mereka sedang bersedih. Mungkin,
dengan menyapanya akan sedikit membantu menghibur mereka.
“Hai, Fantri, Hai, Puput. Apa kabar?
Lama tidak jumpa.” Aku memulai percakapan diantara mereka.
“Hai, Irma, bagaimana pengumuman
hasil tesnya?”
“Alhamdulillah, aku lulus, Fan. Kamu
bagaimana?”
“Aku dan Puput. Ngg, nggak lulus. Eh, selamat yah.”
Aku merasa, Fantri mengucapkan kata
selamat itu dengan nada yang tidak menyenangkan. Sepertinya, dia tidak begitu
senang atas kelulusanku.
Hm, tidak. Aku tidak boleh berburuk
sangka pada teman sendiri. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja. Bisa saja
mereka memang sedang tidak enak badan. Tapi, Fantri meninggalkanku berdua
bersama Fitri. Nampaknya Puput juga melakukan hal yang sama. Aku memanggilnya,
tetapi Fantri, Puput, dan Winda berprilaku yang sama. Sekarang aku yakin, bahwa
mereka benar-benar menjauhiku.
Mulai hari itu juga, Fantri tidak
pernah membalas smsku lagi. Setiap aku mencoba untuk meneleponnya, selalu di reject. Aku tak tahu, kesalahan apa yang
telah kuperbuat sehingga dia tak ingin mendengar kabar dariku. Teman yang
kukenal selama tiga tahun, tega melakukan hal ini padaku. Padahal, aku merasa
tidak melakukan hal yang salah.
Masalah ini harus diselesaikan, aku
tidak mau, pertemanan yang kami bangun mulai dari nol hancur lebur begitu saja
hanya karena masalah kecil. Sifat kekanak-kanakan dan iri hati yang membuat
semuanya menjadi hancur lebur.
Hari esok sama saja. Fantri, Puput
dan Winda tetap tidak merespon panggilanku. Aku dan Fitri pun dibuat bingung
dengan masalah ini. Bagaimana tidak, Fitri pun merasa bahwa mereka bertiga
telah menjauh. Semakin aku mendekat, semakin jauh rasanya. Ketika aku melangkah
kesampingnya, mereka melangkah jauh meninggalkan kami berdua.
Fitri yang notaben-nya mudah menangis, sempat meneteskan air mata ketika
mengetahui Fantri yang dahulu begitu dekat dengannya semakin menjauh. Selama 15
tahun mereka bersama.
Pokoknya, masalah ini tidak boleh
terus berlanjut. Jika akar dari permasalahan tidak segera dicabut, maka
tunas-tunas yang akan tumbuh akan menjadi banyak. Hasilnya, masalah tersebut
akan semakin rumit untuk diselesaikan.
Aku memberanikan diri untuk
berkunjung ke rumah Fantri. Alasannya ada dua, pertama aku ingin bersilaturahmi
dengan ibunya, dan yang kedua sudah pasti menyelesaikan masalah ini.
“Assalamu Alaikum, tante. Fantri-nya
ada?”
“Waalaikum Salam, sini masuk dulu.
Fantri biar tante panggil dulu.”
“Hai, Fantri. Bagaimana kabarmu?”
“Hm, baik.” Fantri menjawab acuh tak
acuh. Oke, aku yang harus memulai percakapan ini.
“Hm, Fantri, boleh jujur tidak?”
“Silahkan.”
“Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak
pernah menjawab teleponku? Boro-boro
telepon diangkat, sms saja nggak
pernah dibalas. Kalau aku punya salah padamu, aku minta maaf. Diem-dieman kayak begini membuatku tidak
nyaman. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Dan juga, aku nggak ingin persahabatan kita hancur
hanya karena masalah sekecil ini.”
“Em, seharusnya aku yang meminta
maaf, nggak seharusnya aku marah nggak jelas begini. Aku cuma kecewa aja
sama kamu. Pas ujian tes masuk di Jubel, kamu nggakngasih jawaban padaku. Tapi, aku sadar, itu perbuatan yang
salah.”
“Yah, aku maafin. Tapi, kalau ada
masalah kamu ceritakan pada kita-kita, yah. Itu gunanya ada teman.”
“Jadi baikan, dong?”
“Iya.”
“Irma, aku sudah putus sama Aldy.”
“Hah? Kok bisa?”
“Ya, bisa.”
Aku tertawa dan tersenyum puas pada
Fantri. Pada saat itu juga, Winda, Fitri, Marjan dan Puput berkunjung ke rumah
Fantri. Aku bahagia jika kami berkumpul bersama seperti ini, tanpa ada masalah
dan tanpa ada kesalahpahaman. Karena tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikan. Masalah yang tidak selesai adalah masalah yang tak pernah dicoba
untuk diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar