Entri Populer

Kamis, 12 September 2013

Bogoshipda, Abeoji!

Annyeong minnaaa~ 
Xixixi.. Kembali lagi bersama denganku. 
Ini ada FF, temanya tentang ayah. 
Dibaca yah, hayatilah baik-baik!


 Semua orang berhak bahagia. Bahagia adalah hal pendukung utama dalam kehidupan yang bisa didapatkan dengan cara yang apapun. Meskipun tidak semua makhluk didunia ini mendapatkan kebahagiaan yang semestinya. Tetapi, hidup didunia dan disayangi oleh orang-orang terdekat adalah kebahagiaan yang takkan pernah bisa digantikan oleh kebahagiaan lain.
♡♡♡
 Hawa dingin menusuk kulit putih milik Tae Suk. Wajar saja bila udara di Seoul terasa dingin. Memasuki musim salju, banyak manusia yang lebih suka menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekatnya. Terlebih lagi dengan pasangan maupun dengan keluarga kecilnya.
 Sayangnya, meskipun Tae Suk memiliki sebuah keluarga kecil di daerah pinggiran Incheon, dia tetap saja kesepian. Remaja usia 16 tahun ini sangat meridukan ayahnya yang dulu.
 Jang Tae Suk, seorang anak yang sangat senang bermain dengan ayahnya. Setiap hari mereka lalui bersama. Semua permainan hampir mereka mainkan bersama.
 Hari-hari mereka lalui bersama, sampai pada akhirnya Jang Tae Suk tumbuh menjadi seorang remaja yang sangat tampan. Karena ketampanan dan kebaikan hatinya, ia memiliki banyak teman. Tetapi, ada juga yang tak senang dengan ketampanan wajahnya.
 "Annyeong, Tae Suk-ssi. Apakah kamu tidak membantu ibumu berjualan dipasar?" Olok Sang Woo. Anak pengusaha susu sapi terkaya di Incheon.
 "Yak, kamu boleh mengolokku. Tapi, kamu tidak boleh mengolok pekerjaan ibuku. Aratji?" Tae Suk sangat tidak menyukai apabila teman-temannya mengolok-olok orang tuanya.
 "Tae Suk-ssi, kamu tidak perlu marah. Aku tidak pernah mengolok orang tuamu, tapi aku hanya menertawai kemiskinanmu."
 Semua teman-teman Sang Woo tertawa terbahak-bahak. Hingga pada satu tonjokan mengakhiri tawa mereka. Tae Suk sangat murka. Ia sangat tidak menyukai orang-orang seperti Sang Woo yang selalu bangga dengan kekayaan orang tuanya.
 "Neo? Ige mwoya? Kenapa kau memukulku?" Sang Woo tidak terima dengan perlakuan Tae Suk. Ia ingin membalas tetapi tidak mampu memukul Tae Suk.
 "Ige mwoya? Kau pantas menerimanya!"
 "Kaja, aku tidak ingin orang miskin ini menyentuhku." Sang Woo memberi instruksi kepada teman-temannya.
 Kaki Tae Suk membawanya ke taman kecil di sekitar pekarangan rumahnya. Disebuah kursi taman, Tae Suk menumpahkan seluruh amarah dan tangisnya. Setiap hari ia diolok-olok oleh teman sekelasnya, terutama Sang Woo. Setiap mereka berpapasan, Sang Woo akan selalu mengatainya si Pecundang Miskin.
 Tae Suk memang tidak memperdulikan semua olok-olokan itu, tetapi jika membawa kedua orang tuanya, ia tidak bisa mengontrol amarahnya lagi.
 Tae Suk memandang langit biru di daerah Incheon. Ia tak pernah menatap langit Seoul yang sering dibicarakan oleh teman-temannya, tetapi ia sudah sangat nyaman dengan menatap langit Incheon.
 "Nuguseyo, wae urayo? Uljima." Seorang gadis sebaya Tae Suk menghampirinya. Gadis tersebut menyodorkan selembar sapu tangan kepada Tae Suk.
 "Ani, aku tidak menangis. Aku hanya flu ringan."
 "Kamu sebut itu flu? Jelas-jelas matamu berair."
 "Ng, aku juga bersin-bersin."
 Tae Suk tetap menyangkal bahwa ia tidak menangis. Tetapi, matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu tahu bahwa lelaki dihadapannya sedang membohonginya.
 "Terserah."
 Tae Suk menatap lekat gadis dihadapannya.
 'Siapa dia? Mengapa ia muncul dihadapannya pada saat ia sedang menangis?'
 "Jo neun Hee Jin imnida, Park Hee Jin. Aku kemari karena melihatmu menangis ditempat ini. Kedatanganku tidak tepat yah? Aku juga tidak tahu. Suasana hatiku sedang buruk, jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan ditaman Incheon."
 Tae Suk terkejut dengan semua perkataan yang dilontarkan oleh Hee Jin. Ia tidak menyangka, Hee Jin bisa membaca pikirannya.
 'Apakah kamu bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa kamu bisa menjawab semua pertanyaan yang tidak kuucapkan?'
 "Ya, tentu. Aku bisa. Aku juga tidak tahu."
 'He?'
 Wajah Tae Suk semakin memerah. Entah ia menahan malu atau bingung dengan seorang gadis bernama Hee Jin.
 "Rumahmu dimana?" Tanya Tae Suk.
 "Ada apa tanya rumahku? Rumahku di Seoul."
 "Lalu, apa yang kamu lakukan disini?"
 "Aku sedang mencari ayahku."
 "Ayahmu tinggal dimana?"
 "Molla."
 "Kalau kamu tidak tahu, mengapa kamu berkeliaran disini sendirian?"
 "Yak, aku sudah bilang, aku ingin mencari ayahku. Dimanapun dirinya berada, aku ingin mencarinya."
 "Kamu sangat menyayanginya?"
 "Yak, itu pertanyaan konyol. Mana ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya."
 "Yah, kamu benar. Itu pertanyaan konyol. Memang tidak ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya. Sang anak bahkan ingat, kebiasaan orang tua yang sering dilakukan dipagi hari, siang hari dan malam hari. Bahkan, sang anak pun bisa menghitung berapa kali ayahnya mengusap rambutnya dalam sehari. Tapi sayang, aku bahkan tak ingat, kapan terakhir kalinya aku memanggil, ayah."
 Hee Jin termangu mendengar curahan hati Tae Suk.
 "Ada apa dengan ayahmu? Solma..."
 Tae Suk hanya menatap Hee Jin dengan wajah kelelahan. Seperti seorang pengembara yang kelelahan mengembara dunia selama dua minggu.
 Seorang anak takkan berbicara yang tidak-tidak kepada orang lain apabila kedua orang tua lebih memperhatikan dan mengajarkannya bagaimana cara bersikap kepada orang lain.
 "Aniya, ini sudah malam, kamu pulang saja. Aku juga harus pulang. Ibuku sudah menunggu dirumah."
 "Geurae, aku akan pulang. Besok kita ketemu ditaman ini lagi, yah. Annyeong."
 Jang Tae Suk hanya melambai kearah Hee Jin. Gadis itu sudah membuat hatinya kembali damai. Ia lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.
 'Hee Jin, mungkin saja kamu tidak akan melihatku disini lagi besok, besok, besok dan seterusnya. Mianhae, Hee Jin, aku belum sempat berterima kasih denganmu. Gamsahamnida, Hee Jin, kamu sudah membuat hatiku tentram kembali. Kehadiranmu dalam pertemuan singkat kita takkan kulupakan.'
♡♡♡
 Pada umunya, semua orang menyukai suasana di pagi hari. Dimana udara masih segar belum tercampur dengan gas-gas karbon dioksida. Sehingga, pernapasan kita tidak terganggu.
 Meskipun Tae Suk sangat menyukai pagi hari, tetapi pada hari itu, Tae Suk sangat tidak menyukai pagi hari.
 Jang Tae Suk sedang menyiapkan sesuatu. Ia mengambil tas biru mudanya, dan memasukkan beberapa pakaian. Seperti rencana-rencana sebelumnya, ia ingin meninggalkan rumah kecilnya. Dimana ia hidup bersama dengan adik perempuan dan kedua orang tuanya.
 Jang Tae In, yang sedang memerhatikan kakaknya sedang menyiapkan sesuatu, segera melapor kepada ibunya.
 "Eomma, apa kamu melihat Tae Suk? Dia seperti memasukkan pakaiannya ke dalam tas birunya. Apakah dia akan meninggalkan rumah? Apa dia ingin pergi?" Tae In yang sedang membayangkan heningnya rumah jika tidak ada kakak semata wayangnya.
 "Tae In-ah, setelah kakakmu membereskan pakaiannya. Kita harus memasukkan kembali pakaiannya ke dalam lemari. Kakakmu tidak akan pergi. Ibu pastikan itu."
 "Ne, Eomma. Uri Oppaga, nan jeongmal saranghae. Meskipun dia sering nakal dan memarahiku." Air mata Tae In membasahi sudut kiri matanya.
 "Ayo Tae In, kita harus mengambilnya, sebelum dia melihat kita."
 Ibu dan Jang Tae In buru-buru memasukkan pakaian Tae Suk kedalam lemari pakaiannya.
♡♡♡
 "Tae Suk, kemari."
 "Ne, Appa?" Tae Suk berjalan ke arah ayahnya yang sedang duduk di meja makan.
 "Kemana kamu semalam?"
 "Aku, ke rumah teman, appa."
 "Ke rumah teman sampai larut malam? Apa kamu tidak malu? Kamu tidak malu dilihat oleh tetangga, anak Jang Dae Hyun, keluar bersama temannya tengah malam? Apa yang kalian lakukan?"
 "Kami, kami hanya berkumpul saja."
 Dari mimik wajahnya saja, Tae Suk sedang berbohong pada ayahnya. Tentu saja, Tae Suk bukan seorang anak yang suka keluyuran tengah malam hanya untuk pergi bersenang-senang dengan teman-temannya.
 "Oh, jadi kamu sudah berani bersenang-senang dengan temanmu? Apa kau pergi ke bar? Lalu mabuk-mabukan?"
 "Abeoji!"
 "Mwoya? Appa benarkan?"
 "Tidak seharusnya ayah berkata itu padaku. Meskipun aku keluyuran tengah malam. Aku tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di sebuah bar manapun, apalagi sampai mabuk-mabukan seperti ayah katakan. Aku ini masih punya pikiran, ayah. Jadi, jangan pernah menuduhku dengan tuduhan yang tidak-tidak."
 "Satu hal lagi, appa, ini terakhir kalinya ayah menuduhku. Setelah sekian banyak tuduhan tanpa bukti yang ayah katakan padaku."
 Jang Tae Suk melangkah pergi dari hadapan ayahnya. Ia sudah tidak tahan dengan perlakuan ayahnya yang kasar dan suka menuduhnya dengan tuduhan tanpa alasan yang jelas.
 Pernah sekali ia dituduh mencuri uang ayahnya. Hanya karena ia suka membelikan Tae In dan ibunya beberapa pakaian yang sangat indah.
♡♡♡
 Untuk ayah tersayang,
 Aku tidak tahu apa yang merubahmu selama ini. Ayah yang aku banggakan dahulu tak seperti dulu lagi. Ayah yang dulu sangat menyayangiku. Setiap hari mendongeng berbagai cerita menarik untukku. Tetapi, sekarang ayah lebih sering memarahiku daripada menatapku.
 Tatapan hangat yang sering aku lihat dari ayah kini sudah sirna. Ada apakah gerangan? Apa ada yang mengganggu pikiran ayah?
 Appa, kalau ada yang ingin kamu ceritakan padaku, ceritakanlah saja, jangan sungkan. Aku akan setia mendengarkanmu.
 Appa, jagalah ibu dan Jang Tae In baik-baik. Terutama Tae In, jangan sering membuat dia menangis karena ulahku. Kalau ingin marah, marah padaku saja.
 Mungkin, ini adalah surat terakhir dariku. Jangan pernah mencariku, ayah.
 Aku menyayangi kalian.
 Dari anak bandel,
 Jang Tae Suk.
 Setelah membaca surat dari Jang Tae Suk, ibu Tae Suk jatuh pingsan sambil berlinang air mata.
 Apa yang akan dilakukan anak kecilnya itu?
♡♡♡
 "Oppa, kamu mau kemana? Apa kamu ingin pergi dari rumah?"
 "Tae In, jagalah ibu dan ayah baik-baik. Jangan bandel. Buat mereka bangga karena ada Tae In. Jangan cari oppa. Oppa takkan pergi jauh."
 "Yak, oppa, Jang Tae Suk-ssi. Kalau kamu ingin pergi, aku akan melapor ke kantor polisi. Jadi, jangan coba-coba meninggalkan rumah."
 Tae Suk menahan tawa melihat adiknya berlinang air mata. Meskipun dalam hatinya, kata-kata itu sangat menusuk hatinya. Belum pernah sekalipun Tae In berkata demikian padanya.
 "Aku serius."
 Jang Tae Suk mengacuhkan pengakuan dari Jang Tae In. Ia hanya melangkah menuju dapur rumahnya. Ia pun mengambil beberapa nasi dalam rice cooker ibunya. Dan dua potong tempe goreng sisa makanan semalam.
 "Apa kamu benar-benar ingin pergi?"
 "Menurutmu?"
 "Oppa."
 "Hm?"
 "Jaga diri baik-baik." Setelah berkata salam perpisahan, Tae In berlari ke kamarnya dan menangis sekencang-kencangnya. Ia tak kuasa menahan tangis yang dibendungnya ketika kakaknya mengambil beberapa makanan sisa semalam.
 "Tae In, jeongmal mianhae. Oppa pergi dulu. Katakan pada ibu dan ayah ketika mereka kembali, Tae Suk akan pergi. Jangan cari dia. Annyeong, jaga dirimu baik-baik."
 Eomma, Appa, Jang Tae In. Gomawo. Sudah menghiasi hari-hariku dengan penuh warna. Eomma, Appa, mianhaeyo. Aku tidak membalas jasa-jasamu. Aku memang egois. Tapi, inilah jalan yang akan aku jalani.
 Aku tidak mungkin menyesalinya. Tidak akan.
 Butir-butir air mata jatuh ke pipi Tae Suk. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya meninggalkan rumahnya.
♡♡♡
 "Yeobo-ya, Tae Suk-ssi, eodie? Cari dia. Temukan sampai dapat, uri Tae Suk-ssi. Jang Tae Suk. Eodie? Eodieya?" Ibu Jang Tae Suk tak kuasa menahan tangisnya. Putra kecilnya pergi entah kemana.
 Meskipun umurnya sudah cukup remaja, tetapi dia hanyalah seorang anak yang masih bergantung pada orang tua. Seluruh kebutuhan sehari-harinya masih ditanggung oleh kedua orang tuanya.
 "Yeobo-ya, apa yang akan dimakan oleh Tae Suk kalau dia pergi? Dia belum bisa menghasilkan uang. Dimana dia akan tidur? Banyak nyamuk diluar. Yeobooo."
 "Sudahlah, Tae Suk pasti baik-baik saja. Aku sudah menyuruh Woo Bin untuk mencarinya dan Han Eun Rim sudah meneleponnya. Tenanglah, chagi, dia pasti akan baik-baik saja."
 Seluruh teman-teman Tae Suk sedang mencarinya. Terutama Han Eun Rim yang mempunyai hubungan baik dengan Tae Suk.
♡♡♡
From: Eun Rim
To: Tae Suk
01xxxxx
Tae Suk-ssi, eodiya?

 Yak, Jang Tae Suk, mengapa kamu tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesanku? Apakah kamu tidak ingin menemuiku sebelum pergi? Kamu jahat.
 "Oppa, sepertinya aku tahu dimana Tae Suk. Cepat pergi ke sungai Han. Kurasa dia ada disana."
 Motor Eun Woo melaju cepat sepanjang jalan menuju sungai Han. Hanya Eun Rim-lah yang tahu dan sangat yakin bahwa Jang Tae Suk sedang beradi di sungai Han.
 Kebiasaan Tae Suk jika terlalu banyak berpikir adalah menyendiri di sungai Han. Hanya sekali Eun Rim menemani Tae Suk memandang sungai Han.
 Eun Rim sering menawarkan diri untuk menemaninya menenangkan pikirannya. Tetapi, Tae Suk hanya menjawab ia ingin sendiri.
 Terpaksa Eun Rim harus menelan kekecewaan. Jauh-jauh ia menyusul Tae Suk, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan.
 Suasana sungai Han pada malam hari sangatlah indah. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 01.13, jalan raya tak sepi pengunjungnya. Bar dipinggir sungai Han pun ramai pengunjung.
 Han Eun Rim melihat sosok lelaki tinggi. Rambut yang tidak terlalu pendek dibuat cepak sehingga ketampanannya terlihat. Ia pun secepatnya berlari kearah Tae Suk. Ia khawatir jika Tae Suk pergi lagi.
 "Yak, Tae Suk-ssi. Jang Tae Suk. Kenapa kamu tidak mau membalas pesanku? Apa kamu ingin pergi tanpa pamit denganku? Kamu egois, kamu jahat, Tae Suk."
 "Bagaimana kamu bisa kemari?"
 "Apa yang tidak kuketahui tentangmu Tae Suk. Setiap kamu tidak ada dirumahmu, aku sering berkeliling gang hanya untuk menemukanmu, terakhir kali kamu berkata bahwa, kamu sangat suka dengan sungai Han. Setiap kamu memiliki masalah, kamu ingin terjun ke sungai Han dan membiarkan aliran air sungai membuang semua pikiran dan kenangan burukmu."
 "Han Eun Rim, mengapa kamu sangat memperhatikanku?"
 "Karena, ng, karena..."
 "Karena?"
 "Nan... Jeongmal cohaheyo. Nan... Saranghaeyo, Jang Tae Suk."
 "Han Eun Rim..."
 "Tapi, aku tidak pernah meminta balasan cinta darimu Tae Suk. Aku hanya menginginkan kamu tetap berada disampingku, walau bukan sebagai sepasang kekasih. Aku tetap bahagia."
 "Mianhaeyo, Eun Rim. Aku... Aku... Tidak pernah tahu akan perasaanmu. Aku... Aku..."
 "Sudahlah, Tae Suk. Aku tahu bahwa lelaki memang tidak pernah peka akan perasaan wanita. Huh. Hei, jagalah dirimu baik-baik. Ibumu, nanti aku yang akan menenangkannya. Dia hanya akan mendengarkan apa kataku. Pergilah, cepatlah kembali." Kaki Eun Rim melangkah perlahan meninggalkan Tae Suk.
 "Han Eun Rim, Eun Rim..." Tetapi Eun Rim mengacuhkan teriakan Tae Suk.
 Menahan wajah agar tetap bisa tertawa disaat sedang bersedih memang tak mudah tuk dijalani.
 Sama halnya dengan menahan air mata menetes ke pipi. Mata yang sudah berkaca-kaca saja sangat sulit untuk diatasi.
 Eun Rim pun begitu, meski senyumnya masih merekah dihadapan Tae Suk, tetapi sebenarnya hatinya sangat sakit. Seperti ditusuk seratus paku secara bergantian. Sangat sakit.
 Baru pertama kalinya ia berani menyatakan cinta kepada seorang lelaki yang jelas-jelas sahabat karibnya. Meskipun tak begitu dekat, ia sangat mengenal Tae Suk.
 Banyak lelaki yang ingin seperti Jang Tae Suk, sangat disukai oleh Han Eun Rim. Tetapi, takdir berkata lain. Jang Tae Suk-lah yang paling beruntung diantara seribu lelaki yang menyukai Han Eun Rim.
 Hanya orang buta yang tidak bisa melihat seberapa besar cinta Eun Rim pada Tae Suk.
 Tetapi, Tae Suk bukanlah seseorang yang mudah jatuh cinta begitu saja.
♡♡♡
 *6 Tahun Kemudian
 Sebuah universitas di daerah Seoul berdiri megah. Dengan dipenuhi kaca disetiap jendelanya.
 Sebentar lagi hari kelulusan tiba. Hari yang sangat dinanti-nantikan oleh Jang Tae Suk.
 Hati yang was-was menyelimuti perasaannya sekarang. Meskipun lahir dan batinnya siap untuk mengikuti ujian akhir, tetap saja perasaan was-was tidak bisa hilang dari benaknya.
 "Sudah siap, Jang Tae Suk?" Kata salah seorang penguji dihadapannya.
 "Saya siap."
 Tidak terasa sejam ia berkutat dengan skripsi yang begitu tebal dan sebuah laptop. Puluhan pertanyaan menyerbunya dengan bergantian.
 Ia tinggal menunggu hari pengumuman itu tiba.
 Demi menjernihkan otaknya yang lelah akibat dari ujian akhirnya, ia rela berjalan dari kampus ke kedai Sushi yang bisa dikatakan lumayan jauh dari kampusnya. Padahal untuk saat sekarang, batin sangat lelah hanya untuk berjalan.
 Jang Tae Suk memesan beberapa sushi dan secangkir teh hijau. Perutnya terasa sangat kosong meskipun ia sarapan lumayan banyak pagi ini.
 Ia memilih meja disudut kiri dekat kaca kedai tersebut. Sehingga, ia bisa melihat kendaraan lalu lalang dihadapannya.
 "Annyeonghaseyo, apakah kamu Jang Tae Suk?"
 "Eo, annyeonghaseyo. Ne, joneun Jang Tae Suk imnida. Tapi, darimana kamu tahu namaku?"
 "Ah, apakah kamu masih mengingatku? Aku bahkan tidak melupakan wajahmu."
 "Maaf, tapi, aku benar-benar tidak tahu."
 "Apa kamu lupa kalau kamu pernah menangis sendirian di kursi taman?"
 "Hee Jin?"
 "Ya, aku Park Hee Jin. Apa kabar Tae Suk?"
 "Hm, baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Eh, aku ulang lagi yah, waktu itu aku tidak menangis. Aku hanya sedang bersedih."
 "Baik juga, gomawo. Sedih yang berkepanjangan membuatmu menitikkan air mata, lho." Hee Jin langsung tertawa terbahak-bahak.
 Raut wajah Tae Suk memerah menahan malu. Ia mendelik ke arah Hee Jin yang membuat Hee Jin terdiam.
 "Maaf, aku hanya bercanda."
 "Ya, sudah. Ng, ngomong-ngomong, aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu disini."
 "Aku juga. Sudah lama tidak bertemu, yah."
 Dan pada saat itu, Jang Tae Suk menyadari. Dari dulu hingga sekarang, jantung selalu berdetak lebih cepat ketika menatap Hee Jin yang sedang tersenyum.
 Perasaannya kepada Hee Jin tak pernah berubah. Saat itu pula, ia berjanji akan menjadikan Park Hee Jin sebagai kekasih masa depannya.
♡♡♡
 Salah satu mall terbesar di kota Seoul, sangat banyak diminati oleh kaum pria maupun wanita. Baik yang berpasangan maupun tidak. Karena mall itulah yang paling terlengkap di negara Korea Selatan.
 Ibu Tae Suk dan Tae In sedang berjalan-jalan menyusuri toko pakaian yang berada dipelantaran mall tersebut, sampai ketika, mereka berdua melihat sosok pria yang sangat mereka kenali.
 "Ibu, lihat disana, itu seperti, oppa. Ne, Jang Tae Suk-oppa."
 "Ah, dimana, Tae In? Memangnya kakakmu lagi ada disini?" Setelah berkata demikian, kepala ibu Tae Suk spontan memutar kearah yang ditunjukkan oleh Tae In.
 Dugaan Tae In benar. Dia adalah anaknya. Jang Tae Suk.
 Putra yang sangat dirindukannya. Setelah bertahun-tahun pergi dari rumahnya tanpa diketahui keberadaannya.
 "Tae Suuuukk. Jang Tae Suuukk. Yaaak, ini ibu." Seluruh pengunjung mall yang terkejut karena ada seseorang yang berteriak menoleh ke asal suara.
 Jang Tae Suk berbalik dan terkejut. Melihat ibunya yang sudah beruban, hatinya seperti tertusuk-tusuk jarum.
 Ia tidak menyangka bahwa, dirinya akan bertemu dengan ibunya ditempat seperti ini.
 "Eomma, apa kabar?"
 "Kemana saja kau selama ini?"
 "Ng, aku... Aku... Dirumah teman."
 "Apa kau makan dengan baik?"
 "Ne, eomma. Ng, eomma, dimana ayah?"
 Ibunya tidak menjawab pertanyaan singkat itu. Ia hanya terdiam dan menunduk. Tanpa Tae Suk sadari, air mata ibunya menetes ke pipinya.
 "Oppa, ikutlah denganku." Tanpa disuruh, Tae In menarik tangan kakaknya. "Eomma, chakkaman-yo."
 Ibunya hanya terdiam, tidak mengangguk maupun menggeleng.
 Tae In menarik tangan kakaknya ke sebuah pemakaman. Mereka pun menuju ke salah satu kuburan yang terletak agak jauh dari mereka berdiri.
 "Apa-apaan ini, Tae In? Mengapa kau membawaku ke tempat seperti ini? Apa maksudmu?"
 Tae In menghela napas panjang. Tidak menjawab pertanyaan Tae Suk.
 "Tae In, mengapa kau hanya diam saja? Jawablah pertanyaanku!"
 "Setelah kamu pergi, ayah sering menyendiri. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun. Aku pikir, dia sedang memikirkanmu. Sampai suatu hari, ayah jatuh pingsan. Aku dan ibu membawanya ke rumah sakit."
 Tae In menarik napas sebentar lalu melanjutkan kembali ceritanya. Jang Tae Suk tak bisa membendung lagi air matanya. Tetapi, tetap memperhatikan Tae In yang sedang berbicara.
 "Dokter mengatakan bahwa ayah hanya perlu istirahat dan meminum obat darinya. Aku dan ibu lega dengan kondisi ayah. Pada suatu malam, hari dimana pertama kalinya aku melihat ayah menangis sambil menyebutkan namamu. Nampaknya dia sangat merindukanmu. Aku sudah berusaha mencarimu kemana-mana, tapi kau tetap tidak bisa ditemukan. Dokter pikir, obat satu-satunya adalah bertemu denganmu."
 "Tetapi, ayah menyerah. Ayah tidak bisa bertahan. Ayah tidak tertolong lagi. Rasa rindu mengalahkan seluruh metabolisme tubuhnya."
 Jang Tae In berhenti bercerita. Lalu menatap ke arah Tae Suk.
 Appa, wae? Waeee? Kenapa kau tak mau menungguku sebentar saja? Lihat! Lihatlah, anakmu sekarang sudah berhasil. Tetapi mengapa kau pergi secepat ini? Kau bahkan belum melihat anak-anakmu menikah, apalagi cucu-cucumu.
 "Appa, mianhae. Mianhaeyo. Aku sudah membuatmu begini."
 Tidak lama kemudian, Tae Suk dan Tae In pun menangis bersama. Membayangkan betapa mirisnya kehidupan mereka. Ditinggal seorang ayah sedini ini. Tetapi, mereka tidak boleh menyalahkan siapapun. Itu sudah takdir dari Tuhan yang tidak bisa dihindari oleh manusia.
 Tatapan Tae Suk beralih kesebuah pohon anggrek tidak jauh dari tempatnya berada.
 Muncul sosok pria berpakaian serba putih sedang menatap Tae Suk.
 Tidak salah lagi. Dia adalah ayah Tae Suk yang sedang tersenyum ke arah putranya.
 Kerinduan ditinggal anaknya sudah terlampiaskan pada hari itu.
 Sekarang, Jang Tae Suk hanya perlu membenahi diri lagi. Dan membahagiakan orang-orang yang masih berada disekitarnya.
♡♡♡

"Kamu takkan pernah tahu, kapan saatnya kamu harus berpisah dari orang-orang terdekatmu, orang-orang yang menyayangimu, dan orang-orang yang kamu sayangi. Selama mereka mash ada, cobalah buat mereka bahagia dengan kehadiranmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar