Entri Populer

Jumat, 12 Juli 2013

Terlalu Manis



Terlalu Manis

Semua cerita cinta punya kenangan tersendiri. Dalam drama-drama Korea, cerita cinta yang awalnya rumit, berakhir bahagia dengan mempersunting pasangannya. Akan tetapi, tak semua cerita cinta berakhir bahagia. Kesedihan, kekecewaan, kegalauan, kecemburuan, pasti akan dirasakan.
Inilah cerita cinta.
Pagi hari memang selalu membuat suasana hati menjadi tentram. Udaranya yang masih segar bebas asap kendaraan membuat semua orang tak mau lepas dari aromanya. Hal itulah yang membuat Ratna rela memasang alarm pada jam wekernya. Meskipun memasang alarm adalah perintah dari ibunya, ia senang saja melakukannya. Perintah ibunya juga toh demi kebaikannya.
Setelah mandi dan sarapan, Ratna bergegas mengambil kunci mobil Honda Freed yang sering ia kemudikan bersama adiknya. Tak pernah sekalipun ia terlambat datang ke sekolahnya. Setengah jam sebelum pelajaran dimulai, ia sudah duduk manis di bangku kelasnya.
“Ran, kamu turun di depan fotocopy itu aja yah! Kakak mau ke rumah Om Deni dulu, mau ambil berkasnya, Papa.”
“Yah, kakak, di depan sekolah aja, kenapa? Malas, ah, jalannya. Lagipula, ini kakak nggak akan telat hari ini.” Rani tetap tidak terima kalau ia harus berjalan kaki menuju sekolahnya.
“Ran, kakak mau ke rumah Om Deni dulu. Mau ambil, em, ada deh pokoknya.”
“Ya sudah. Tapi untuk hari ini saja, yah.”
Rani melambaikan tangan ke arah kakaknya. Dengan wajah masam, ia melangkahkan kakinya menuju ke sekolahnya. Sambil menggumam dalam hati, Rani merutuki kakaknya yang tega menurunkannya di jalan raya.
Mobil Ratna melaju di Jalan A.P.Pettarani. Ratna seorang anak yang sangat suka akan kejujuran, apalagi pada adik semata wayangnya. Namun kali ini, Ratna harus berbohong sedikit pada adiknya. Bukan tanpa alasan, hari ini adalah hari yang sangat istimewa untuk Rani. Ratna ingin menunjukkan sedikit rasa sayangnya pada adiknya.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Ratna mengambil pesanan makanannya kemudian menuju ke toko kue. Bentuknya kotak, berwarna kuning dan bergambar kartun.
Rani sangat suka dengan Spongebob. Apapun itu, jika bergambar Spongebob, ia tidak akan berpikir panjang. Rani akan merengek pada ayah untuk membelikannya benda tersebut.
Oleh karena itu, Ratna memesan kue yang bentuknya seperti kartun spongebob. Adiknya pasti akan menyukai kejutan kecil-kecilannya.
Setelah mengambil semua pesanan pada catering-catering langganan ibunya, Ratna bergegas menuju ke sekolah adiknya. Jarak dari toko kue ke sekolahnya tidak begitu jauh. Ratna telah memperhitungkan semuanya.
Saat ini, adiknya belum masuk ke kelas.  Mungkin saja, ia sedang bercanda gurau bersama teman-temannya. Kalau tak ada guru yang masuk, Rani lebih senang duduk dibawah pohon mangga sekolahnya sambil membaca buku.
Ratna bekerja sama dengan guru-guru Rani untuk memberikan kejutan kecil untuknya. Berbagai siasat telah diluncurkan oleh Ratna untuk mengerjai adiknya. Salah satunya adalah sengaja menghukum Rani agar dia benar-benar kesal.
Pak Alan adalah guru olahraga Rani. Dia sangat dekat dengan Rani. Boleh dibilang mereka seperti saudara. Rani adalah seorang anak yang sangat manja. Meskipun usianya sudah menginjak 8 tahun, ia masih suka menangis dan merengek apabila tidak diberikan sesuatu yang diinginkannya.
Meskipun Ratna setiap hari mengantar jemput adiknya, ia masih belum tahu dimana kelas Rani berada. Ia pun bertanya pada salah satu guru yang berada tepat dihadapannya.
“Pagi, Pak. Aku mau nanya, kelas Rani Lolita Halim dimana yah?” Dengan wajah yang sedikit ragu, Ratna bertanya kepada Pak Alan.
“Oh, Rani, yah? Terus aja, mbak. Nanti disana ada perpustakaan, nah, disebelah kiri perpustakaan itu ada kelas 3 A.”
“Oh, kalau begitu, terima kasih, pak.”
“Ah, tidak usah memanggil pak. Mungkin kita hanya beda beberapa tahun. Lagipula, Rani sudah aku anggap seperti adik sendiri.”
“Benarkah? Aduh, Rani pasti merepotkan, bapak, kan?”
“Tidak usah memanggil bapak. Panggil saja, Alan.” Alan mengulurkan tangan kanannya ke arah Ratna.
“Ratna.” Ratna menyambar tangan kanan Alan. “Oh, iya, hari ini ulang tahun Rani, jadi aku bawa ini semua. Hanya kejutan kecil-kecilan.”
“Kayaknya kamu kerepotan membawanya, deh. Sini biar aku bantu.”
Alan membawa sebagian makanan yang telah Ratna sediakan. Sedangkan Ratna membawa kue yang telah diberi lilin bertuliskan angka 8.
Bersama dengan guru-guru yang lain, Ratna membawa kue spongebob-nya menuju ke kelas Rani. Mereka semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun secara bersamaan. Rani terkejut dan bahkan seperti tak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ia bahkan lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Potongan pertama kue spongebob-nya diberikan kepada Ratna, dan yang kedua adalah Alan. Ayah dan ibunya berhalangan hadir di sekolahnya. Ada kegiatan lain yang sedang mereka jalani sehingga tak bisa menyempatkan hadir ke sekolah Rani. Meskipun tanpa kehadiran orang tuanya, senyum Rani tak pernah lepas menghiasi wajah indahnya.
Disinilah awal perkenalan Ratna dan Alan. Melalui potongan pertama dan potongan kedua kue itu, mereka bisa lebih dekat.
Ratna pun lebih sering mengantar jemput adiknya di sekolah. Alan pun juga sama, ia bahkan sering mentraktir Rani jajanan sekolah saat istirahat dan menemani Rani menunggu Ratna di parkiran sekolah.
“Pak Alan pacaran yah sama kak Ratna?” Dengan wajah polos, Rani bertanya hal yang membuat Alan menjadi deg-degan.
Jantung Alan berdegup cepat, entah karena apa. Mungkin saja, karena Rani mengungkit masalah pacaran dengan Ratna. Meskipun hal itu tidak terjadi, tetapi pertanyaan Rani membuat Alan jadi senyum-senyum sendiri.
“Kenapa Pak Alan diam aja? Bener, yah? Pak Alan pacaran kan sama kak Ratna?” Rani masih menuduh Alan berpacaran dengan Ratna.
“Apaan sih, kamu. Masih kecil udah tahu yang namanya pacaran. Emang kamu tahu pacaran itu apa? Kamu itu masih kecil, tahu.”
“Yah, bapak jangan ngeremihin anak kecil, dong. Gini-gini aku juga tahu yang namanya pacaran.”
“Yasudah kalau begitu, intinya aku sama kak Ratna itu nggak apa-apa. Kami nggak pacaran, sayang.” Pada saat itu juga, Ratna ada dihidapan mereka. Tapi, Alan dan Rani tidak menyadari kehadirannya. “Kami berdua hanya, teman.”
“Padahal aku kira bapak pacaranloh, sama kak Ratna. Kalau aja pacaran beneran, aku adalah adik yang paling bahagia di dunia.”
Loh kok bisa?” Ratna berusaha ikut angkat bicara.
“Hei, Rat. Kapan datangnya? Kok aku nggak lihat?” Alan terkejut melihat kedatangan Ratna yang menurutnya tiba-tiba. Oleh sebab itu, Alan hanya menyapa Ratna apa adanya.
Ratna hanya geleng-geleng melihat Alan yang sedari tadi benar-benar tidak sadar akan kehadiran dirinya. Entah Alan yang terlalu asik bercanda dengan Rani atau pura-pura tidak melihat Ratna.
“Maksud yang tadi itu apa, Ran?” Ratna masih penasaran dengan pendapat Rani tentang hubungannya dan Alan.
Pendapat Rani adalah yang paling utama sebelum pendapat kedua orang tuanya. Ratna sadar bahwa umurnya masih terlalu belia untuk mengenal pacaran. Ia juga belum berpikir untuk sampai ke tahap yang lebih serius. Hanya dekat dengan Alan saja sudah membuatnya bahagia setengah mati, apalagi jika Alan menjadi miliknya.
Kedekatan Alan dan Ratna semakin hari semakin dekat saja. Hari demi hari mereka lalui bersama tanpa adanya suatu hubungan khusus yang mengikat mereka. Hanya status guru adiknya dan kakak siswinya yang membuat mereka bertahan jalan bersama. Umur Ratna dan Alan selisih 5 tahun.
Selain profesinya menjadi seorang guru, Alan juga kuliah di salah satu Universitas yang ada di Makassar. Ia hanya tinggal menunggu sidang skripsi.
Suatu hari, Alan memberitahu suatu hal yang membuat Ratna syok bukan main. Bagaimana tidak, yang ia katakan adalah kata perpisahan.
“Rat, kamu udah kelas berapa sekarang?”
“Kelas 11, ada apa, Lan? Tumben nanya hal-hal tidak terlalu penting?” Kecurigaan nampak di wajah Ratna. Dengan kening berkerut Ratna menatap lurus kearah mata Alan.
“Ng, besok aku sudah ujian meja.”
“Wah, hebat dong. Aku doain semoga ujiannya berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Amin. Tapi, kenapa wajahmu nampak sedih?”
“Minggu depan, aku harus ke New York untuk melanjutkan S2. Ayahku telah mendaftarkanku lebih dulu tanpa meminta persetujuan dariku. Aku bingung harus bagaimana, disatu sisi aku bahagia bisa melanjutkan S2, tapi dilain sisi, aku sedih harus... harus... berpisah... denganmu.”
“Tapi aku janji padamu, aku akan kembali ke Indonesia setelah kuliahku disana selesai. Mungkin, aku akan rindu setiap hari padamu. Rindu canda tawamu, suaramu dan wajahmu bila sedang marah.”
“Jangan khawatir, aku akan sering menghubungimu, banyak jejaring sosial yang bisa menghubungkan kita.”
Ratna hanya bisa menatap lurus kedepan tanpa bisa berkata apa-apa. Rasa sedih dan bahagia bercampur jadi satu. Sedih karena harus ditinggalkan, dan bahagia mengetahui, cita-cita orang yang paling ia sayangi bisa terkabul.
Jantung Ratna berdebar kencang. Rasa sakit yang menyerangnya tak bisa dilawan lagi. Tangis sedu pun tumpah dihadapan Alan. Ratna tak peduli lagi, sudah banyak pasang mata yang memandang mereka curiga. Alan sudah berusaha untuk menenangkan Ratna, tetapi tidak berhasil.
Kesedihan Ratna benar-benar tak terbendung. Seseorang yang baru saja ia kenali, kini dalam hitungan hari harus meninggalkan dirinya untuk mengejar cita-citanya. Ia tahu, bahwa seorang dokter tak cukup jika hanya S1 saja, minimal ia harus lulus S2.
Hari yang sangat Ratna benci pun tiba. Hari dimana Alan akan meninggalkannya untuk sementara. Meskipun sementara, tetap saja artinya tidak bertemu selama beberapa hari, dan itu tandanya mereka tak bisa bertatap muka dan bercanda gurau secara langsung. Hanya lewat jejaring sosial saja mereka bisa berkomunikasi. Dan itu membuat Ratna sedikit tidak nyaman.
Ratna mendapat satu pesan. Dengan tangan gemetar dan hati ragu, ia mencoba membuka isi pesan yang ternyata dari Alan.
From: MySirAlan
Hai, Ratna, bagaimana tidurmu semalam? Apakah mimpi indah? Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Sedikit gugup, sih awalnya. Tapi, tidak buruk. Sejauh ini lancar-lancar saja.
Apa kamu sudah sarapan? Kalau belum, sarapan dulu sana. Bacain suratnya bisa sebentar. Hehehe.
Mungkin, ini adalah pesanku untuk sementara. Karena pesawatku sebentar lagi take off. Doain yah, semoga selamat sampai tujuan.
Aku akan merindukanmu, Ratna. Kamu jaga kesehatan baik-baik, yah.
I’ll miss you here.

Air mata yang sejak tadi ditahan Ratna, kini mengalir deras di pipinya. Suara tangis pun kini pecah. Masih terbersit dalam pikirannya bahwa Alan belum berangkat. Ia pun berlari secepatnya ke rumah Alan. Untung saja, jarak antara rumahnya dan rumah Alan tidak terlalu jauh. Ratna mengusap dahinya yang dibasahi oleh keringat. Ia tak peduli lagi dengan sinar matahari yang mulai menusuk kulitnya.
Betapa kecewa dan sedihnya Ratna ketika mengetahui bahwa Alan benar-benar telah pergi meninggalkannya. Alan tidak sempat berpamitan secara langsung dengan Ratna. Hanya Rani saja yang sempat ia ajak berjalan-jalan keliling mal demi menyenangi hati murid kecilnya.
“Mbak ini Ratna, yah?”
“Iya, ada apa, mbak?”
“Oh, ini, ada titipas dari Mas Alan, katanya untuk mbak Ratna. Katanya disuruh baca di lapangan bola dekat rumah, mbak.”
“Kalau begitu, makasih yah, bi.”
Ratna kembali berlari menuju ke lapangan bola yang berada di dekat rumahnya. Ia benar-benar penasaran dengan isi surat yang harus dibacakan di satu tempat yang tidak masuk akal. Untung saja matahari belum terlalu terik, sehingga Ratna tidak terlalu kepanasan.
Sebelum membuka surat yang diberikan oleh Alan, ia menghembuskan napas panjang dan membaca doa didalam hati.





Halo, Ratna. Apa kabar? Kamu nggak kepanasan kan karena berdiri di tengah lapangan. Sebentar lagi, mungkin kamu akan tahu alasan aku menyuruhmu untuk berdiri ditengah lapangan.
Maafkan aku Rat, aku nggak berani mengucapkan selamat tinggal padamu secara langsung. Aku nggak berani. Aku takut, kalau kamu akan menangis lagi karena ulahku. Hari dimana aku menyampaikan kabar kepergianku pun terasa begitu menyesakkan. Hanya mengatakannya saja aku tidak bisa. Melihatmu menangis pada hari itu membuatku takut, kalau harus membuatmu menangis untuk kedua kalinya.
Kamu harus ingat satu hal, Ratna. Kamu akan selalu ada di dalam hatiku. Meskipun jarak yang memisahkan kita, hatimu dan cintaku untukmu takkan pernah berubah. Maafkan aku yang tak berani jujur padamu. Bahwa selama ini, aku memendam perasaan cinta padamu.
Betapa bodohnya aku hanya bisa mengatakan melalui surat ini.
Ratna, aku punya satu permohonan untukmu. Mungkin permohonanku ini terlalu lancang, tetapi maukah kamu menungguku? Hari dimana saat kita akan bertemu kembali adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu.
Aku mencintaimu Ratna. Aku akan selalu mencintaimu.
1... 2... 3... Sekarang kamu balik ke atas.
Selamat tinggal, Ratna. Kuharap kamu mau menungguku.

Tak lama kemudian, sebuah pesawat terbang melintas di atas lapangan tempat Ratna berdiri.
Kamu bodoh Alan, aku juga selama ini memendam rasa yang sama padamu. Mengapa kamu tak pernah mengatakan hal ini padaku. Baiklah, permohonanmu aku terima. Aku akan menunggumu sampai kapanpun, ditempat ini. Tempat kita berpisah dan tempat dimana kita akan bertemu kembali.
Selamat jalan Alan, semoga selamat sampai tujuan. Aku juga mencintaimu.
***

Jangan Marah


Dibaca yah, semoga ceritanya menarik :)
Happy Reading...

JANGAN MARAH

Matahari telah terbit. Ayam jantan berkokok dengan suka ria. Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Hampir saja aku bangun kesiangan kalau bukan Ibu yang membangunkanku. Aku tak tahu, semalam aku bermimpi apa, sampai-sampai aku tidak mendengar bunyi alarm yang semalam kuletakkan dimeja belajarku.
Hari ini adalah hari yang paling mendebarkan untukku. Hari dimana pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas Negeri 17 Makassar akan diumumkan. Awalnya aku tidak mempedulikan hasil kelulusan sekolah itu, tetapi setelah melihat wajah kedua orang tuaku, nampaknya mereka sangat menginginkanku untuk lulus dari sekolah tersebut.
Dengan jantung yang sedikit berdebar, aku mencari nomor tes yang terpampang dalam surat kabar harian. Betapa terkejut aku, melihat nomor tes yang kumiliki terpampang dalam selembar kertas yang awalnya tak berguna itu.
“Ibu, Ayaah, aku lulus. Lihat, nomor tesku ada di dalam surat kabar ini.” Kataku seraya memeluk ibu.
“Coba sini ibu lihat? Benaaar, kau lulus Irma.” Ibuku berbalik memeluk. Aku bahagia melihat orang tuaku bahagia.
Tapi aku harus sadar, perjuanganku belum sampai disini. Ini barulah awal. Awal dari keberhasilanku. Ini belum ada apa-apanya, masih banyak rintangan yang harus dilalui jika ingin meraih cita-cita yang sesungguhnya.
Oh ya, aku sampai lupa menanyakan kabar kelulusan teman-temanku yang lain. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, hanya ingin tahu saja, apa mereka juga sama sepertiku. Hal ini akan menjadi kabar baik untukku. Bisa belajar bersama-sama lagi, bermain bersama dan bergurau bersama. Banyak hal yang indah yang bisa dilakukan jika kami kembali bersama.
Aku tidak sabar menunggu hari esok.
***
Pagi hari yang cerah. Aku bergegas merapikan kamar dan berangkat ke sekolah untuk melihat hasil pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Penentuan antara hidup dan mati ada pada selembar kertas yang berisikan angka-angka tersebut.
Aku berjalan disekitar koridor kelas tempatku belajar dulu. Suasana tidak berubah, hanya saja kelasnya dikosongkan. Kelas IX.9. Disitulah aku menghabiskan banyak waktu selama 3 tahun. Banyak kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Kenangan itu terlalu indah jika hanya untuk dikenang semata.
“Irmaaaaa.” Tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat kukenali.
“Fitriiii.” Kebiasaan Fitri sedari dulu belum berubah. Sering berlari jika bertemu dengan kawan-kawannya.
“Hai, apa kabar? Dasar kamu ya, mentang-mentang sudah jarang bertemu, kamu pun tak pernah memberiku kabar. Apa-apaan ini?”
“Heei, sabar. Bukan begitu, kamu tahukan orang tuaku, kalau libur nggak dapat gaji harian.”
“Dasar kamu. Masih banyak  social media yang bisa kamu gunakan untuk berkomunikasi. Ada twitter, facebook, BBM, eitss, atau jangan-jangan kamu tidak tahu menggunakannya?”
“Hei, jangan menuduhku yang tidak-tidak.”
Aku pun tertawa melihat wajah Fitri yang memerah. Menggodanya sedikit saja akan membuatnya salah tingkah dan pipinya akan memerah seperti kepiting rebus.
“Fit, aku lulus. Tinggal tunggu pendaftaran ulangnya .”
“Yang benar? Yeeey, Alhamdulillah. Jadi nggak perlu mendaftar di sekolah lain dong? Hebat.”
Aku senang, teman-temanku ikut senang mendengar kabar kelulusanku. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Awalnya, aku tidak percaya bahwa nomor tes yang kumiliki terpampang di kertas surat kabar itu.
Suasana Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Makassar terlihat ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, itu berarti jam istirahat telah berbunyi. Siswa-siswi kelas 7 dan 8 berlari kecil-kecilan menuju kantin sekolah. Pada saat itu juga, Fantri dan Puput tiba disekolah. Wajahnya yang masam menandakan mereka sedang bersedih. Mungkin, dengan menyapanya akan sedikit membantu menghibur mereka.
“Hai, Fantri, Hai, Puput. Apa kabar? Lama tidak jumpa.” Aku memulai percakapan diantara mereka.
“Hai, Irma, bagaimana pengumuman hasil tesnya?”
“Alhamdulillah, aku lulus, Fan. Kamu bagaimana?”
“Aku dan Puput. Ngg, nggak lulus. Eh, selamat yah.”
Aku merasa, Fantri mengucapkan kata selamat itu dengan nada yang tidak menyenangkan. Sepertinya, dia tidak begitu senang atas kelulusanku.
Hm, tidak. Aku tidak boleh berburuk sangka pada teman sendiri. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja. Bisa saja mereka memang sedang tidak enak badan. Tapi, Fantri meninggalkanku berdua bersama Fitri. Nampaknya Puput juga melakukan hal yang sama. Aku memanggilnya, tetapi Fantri, Puput, dan Winda berprilaku yang sama. Sekarang aku yakin, bahwa mereka benar-benar menjauhiku.
Mulai hari itu juga, Fantri tidak pernah membalas smsku lagi. Setiap aku mencoba untuk meneleponnya, selalu di reject. Aku tak tahu, kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga dia tak ingin mendengar kabar dariku. Teman yang kukenal selama tiga tahun, tega melakukan hal ini padaku. Padahal, aku merasa tidak melakukan hal yang salah.
Masalah ini harus diselesaikan, aku tidak mau, pertemanan yang kami bangun mulai dari nol hancur lebur begitu saja hanya karena masalah kecil. Sifat kekanak-kanakan dan iri hati yang membuat semuanya menjadi hancur lebur.
Hari esok sama saja. Fantri, Puput dan Winda tetap tidak merespon panggilanku. Aku dan Fitri pun dibuat bingung dengan masalah ini. Bagaimana tidak, Fitri pun merasa bahwa mereka bertiga telah menjauh. Semakin aku mendekat, semakin jauh rasanya. Ketika aku melangkah kesampingnya, mereka melangkah jauh meninggalkan kami berdua.
Fitri yang notaben-nya mudah menangis, sempat meneteskan air mata ketika mengetahui Fantri yang dahulu begitu dekat dengannya semakin menjauh. Selama 15 tahun mereka bersama.
Pokoknya, masalah ini tidak boleh terus berlanjut. Jika akar dari permasalahan tidak segera dicabut, maka tunas-tunas yang akan tumbuh akan menjadi banyak. Hasilnya, masalah tersebut akan semakin rumit untuk diselesaikan.
Aku memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Fantri. Alasannya ada dua, pertama aku ingin bersilaturahmi dengan ibunya, dan yang kedua sudah pasti menyelesaikan masalah ini.
“Assalamu Alaikum, tante. Fantri-nya ada?”
“Waalaikum Salam, sini masuk dulu. Fantri biar tante panggil dulu.”
“Hai, Fantri. Bagaimana kabarmu?”
“Hm, baik.” Fantri menjawab acuh tak acuh. Oke, aku yang harus memulai percakapan ini.
“Hm, Fantri, boleh jujur tidak?”
“Silahkan.”
“Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak pernah menjawab teleponku? Boro-boro telepon diangkat, sms saja nggak pernah dibalas. Kalau aku punya salah padamu, aku minta maaf. Diem-dieman kayak begini membuatku tidak nyaman. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Dan juga, aku nggak ingin persahabatan kita hancur hanya karena masalah sekecil ini.”
“Em, seharusnya aku yang meminta maaf, nggak seharusnya aku marah nggak jelas begini. Aku cuma kecewa aja sama kamu. Pas ujian tes masuk di Jubel, kamu nggakngasih jawaban padaku. Tapi, aku sadar, itu perbuatan yang salah.”
“Yah, aku maafin. Tapi, kalau ada masalah kamu ceritakan pada kita-kita, yah. Itu gunanya ada teman.”
“Jadi baikan, dong?”
“Iya.”
“Irma, aku sudah putus sama Aldy.”
“Hah? Kok bisa?”
“Ya, bisa.”
Aku tertawa dan tersenyum puas pada Fantri. Pada saat itu juga, Winda, Fitri, Marjan dan Puput berkunjung ke rumah Fantri. Aku bahagia jika kami berkumpul bersama seperti ini, tanpa ada masalah dan tanpa ada kesalahpahaman. Karena tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Masalah yang tidak selesai adalah masalah yang tak pernah dicoba untuk diselesaikan.
***