Entri Populer

Jumat, 12 Juli 2013

Jangan Marah


Dibaca yah, semoga ceritanya menarik :)
Happy Reading...

JANGAN MARAH

Matahari telah terbit. Ayam jantan berkokok dengan suka ria. Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Hampir saja aku bangun kesiangan kalau bukan Ibu yang membangunkanku. Aku tak tahu, semalam aku bermimpi apa, sampai-sampai aku tidak mendengar bunyi alarm yang semalam kuletakkan dimeja belajarku.
Hari ini adalah hari yang paling mendebarkan untukku. Hari dimana pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas Negeri 17 Makassar akan diumumkan. Awalnya aku tidak mempedulikan hasil kelulusan sekolah itu, tetapi setelah melihat wajah kedua orang tuaku, nampaknya mereka sangat menginginkanku untuk lulus dari sekolah tersebut.
Dengan jantung yang sedikit berdebar, aku mencari nomor tes yang terpampang dalam surat kabar harian. Betapa terkejut aku, melihat nomor tes yang kumiliki terpampang dalam selembar kertas yang awalnya tak berguna itu.
“Ibu, Ayaah, aku lulus. Lihat, nomor tesku ada di dalam surat kabar ini.” Kataku seraya memeluk ibu.
“Coba sini ibu lihat? Benaaar, kau lulus Irma.” Ibuku berbalik memeluk. Aku bahagia melihat orang tuaku bahagia.
Tapi aku harus sadar, perjuanganku belum sampai disini. Ini barulah awal. Awal dari keberhasilanku. Ini belum ada apa-apanya, masih banyak rintangan yang harus dilalui jika ingin meraih cita-cita yang sesungguhnya.
Oh ya, aku sampai lupa menanyakan kabar kelulusan teman-temanku yang lain. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, hanya ingin tahu saja, apa mereka juga sama sepertiku. Hal ini akan menjadi kabar baik untukku. Bisa belajar bersama-sama lagi, bermain bersama dan bergurau bersama. Banyak hal yang indah yang bisa dilakukan jika kami kembali bersama.
Aku tidak sabar menunggu hari esok.
***
Pagi hari yang cerah. Aku bergegas merapikan kamar dan berangkat ke sekolah untuk melihat hasil pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Penentuan antara hidup dan mati ada pada selembar kertas yang berisikan angka-angka tersebut.
Aku berjalan disekitar koridor kelas tempatku belajar dulu. Suasana tidak berubah, hanya saja kelasnya dikosongkan. Kelas IX.9. Disitulah aku menghabiskan banyak waktu selama 3 tahun. Banyak kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Kenangan itu terlalu indah jika hanya untuk dikenang semata.
“Irmaaaaa.” Tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat kukenali.
“Fitriiii.” Kebiasaan Fitri sedari dulu belum berubah. Sering berlari jika bertemu dengan kawan-kawannya.
“Hai, apa kabar? Dasar kamu ya, mentang-mentang sudah jarang bertemu, kamu pun tak pernah memberiku kabar. Apa-apaan ini?”
“Heei, sabar. Bukan begitu, kamu tahukan orang tuaku, kalau libur nggak dapat gaji harian.”
“Dasar kamu. Masih banyak  social media yang bisa kamu gunakan untuk berkomunikasi. Ada twitter, facebook, BBM, eitss, atau jangan-jangan kamu tidak tahu menggunakannya?”
“Hei, jangan menuduhku yang tidak-tidak.”
Aku pun tertawa melihat wajah Fitri yang memerah. Menggodanya sedikit saja akan membuatnya salah tingkah dan pipinya akan memerah seperti kepiting rebus.
“Fit, aku lulus. Tinggal tunggu pendaftaran ulangnya .”
“Yang benar? Yeeey, Alhamdulillah. Jadi nggak perlu mendaftar di sekolah lain dong? Hebat.”
Aku senang, teman-temanku ikut senang mendengar kabar kelulusanku. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Awalnya, aku tidak percaya bahwa nomor tes yang kumiliki terpampang di kertas surat kabar itu.
Suasana Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Makassar terlihat ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, itu berarti jam istirahat telah berbunyi. Siswa-siswi kelas 7 dan 8 berlari kecil-kecilan menuju kantin sekolah. Pada saat itu juga, Fantri dan Puput tiba disekolah. Wajahnya yang masam menandakan mereka sedang bersedih. Mungkin, dengan menyapanya akan sedikit membantu menghibur mereka.
“Hai, Fantri, Hai, Puput. Apa kabar? Lama tidak jumpa.” Aku memulai percakapan diantara mereka.
“Hai, Irma, bagaimana pengumuman hasil tesnya?”
“Alhamdulillah, aku lulus, Fan. Kamu bagaimana?”
“Aku dan Puput. Ngg, nggak lulus. Eh, selamat yah.”
Aku merasa, Fantri mengucapkan kata selamat itu dengan nada yang tidak menyenangkan. Sepertinya, dia tidak begitu senang atas kelulusanku.
Hm, tidak. Aku tidak boleh berburuk sangka pada teman sendiri. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja. Bisa saja mereka memang sedang tidak enak badan. Tapi, Fantri meninggalkanku berdua bersama Fitri. Nampaknya Puput juga melakukan hal yang sama. Aku memanggilnya, tetapi Fantri, Puput, dan Winda berprilaku yang sama. Sekarang aku yakin, bahwa mereka benar-benar menjauhiku.
Mulai hari itu juga, Fantri tidak pernah membalas smsku lagi. Setiap aku mencoba untuk meneleponnya, selalu di reject. Aku tak tahu, kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga dia tak ingin mendengar kabar dariku. Teman yang kukenal selama tiga tahun, tega melakukan hal ini padaku. Padahal, aku merasa tidak melakukan hal yang salah.
Masalah ini harus diselesaikan, aku tidak mau, pertemanan yang kami bangun mulai dari nol hancur lebur begitu saja hanya karena masalah kecil. Sifat kekanak-kanakan dan iri hati yang membuat semuanya menjadi hancur lebur.
Hari esok sama saja. Fantri, Puput dan Winda tetap tidak merespon panggilanku. Aku dan Fitri pun dibuat bingung dengan masalah ini. Bagaimana tidak, Fitri pun merasa bahwa mereka bertiga telah menjauh. Semakin aku mendekat, semakin jauh rasanya. Ketika aku melangkah kesampingnya, mereka melangkah jauh meninggalkan kami berdua.
Fitri yang notaben-nya mudah menangis, sempat meneteskan air mata ketika mengetahui Fantri yang dahulu begitu dekat dengannya semakin menjauh. Selama 15 tahun mereka bersama.
Pokoknya, masalah ini tidak boleh terus berlanjut. Jika akar dari permasalahan tidak segera dicabut, maka tunas-tunas yang akan tumbuh akan menjadi banyak. Hasilnya, masalah tersebut akan semakin rumit untuk diselesaikan.
Aku memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Fantri. Alasannya ada dua, pertama aku ingin bersilaturahmi dengan ibunya, dan yang kedua sudah pasti menyelesaikan masalah ini.
“Assalamu Alaikum, tante. Fantri-nya ada?”
“Waalaikum Salam, sini masuk dulu. Fantri biar tante panggil dulu.”
“Hai, Fantri. Bagaimana kabarmu?”
“Hm, baik.” Fantri menjawab acuh tak acuh. Oke, aku yang harus memulai percakapan ini.
“Hm, Fantri, boleh jujur tidak?”
“Silahkan.”
“Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak pernah menjawab teleponku? Boro-boro telepon diangkat, sms saja nggak pernah dibalas. Kalau aku punya salah padamu, aku minta maaf. Diem-dieman kayak begini membuatku tidak nyaman. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Dan juga, aku nggak ingin persahabatan kita hancur hanya karena masalah sekecil ini.”
“Em, seharusnya aku yang meminta maaf, nggak seharusnya aku marah nggak jelas begini. Aku cuma kecewa aja sama kamu. Pas ujian tes masuk di Jubel, kamu nggakngasih jawaban padaku. Tapi, aku sadar, itu perbuatan yang salah.”
“Yah, aku maafin. Tapi, kalau ada masalah kamu ceritakan pada kita-kita, yah. Itu gunanya ada teman.”
“Jadi baikan, dong?”
“Iya.”
“Irma, aku sudah putus sama Aldy.”
“Hah? Kok bisa?”
“Ya, bisa.”
Aku tertawa dan tersenyum puas pada Fantri. Pada saat itu juga, Winda, Fitri, Marjan dan Puput berkunjung ke rumah Fantri. Aku bahagia jika kami berkumpul bersama seperti ini, tanpa ada masalah dan tanpa ada kesalahpahaman. Karena tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Masalah yang tidak selesai adalah masalah yang tak pernah dicoba untuk diselesaikan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar